70 Hari Bersama Mario

Di bawah hangatnya sinar mentari pagi, sekolahku tercinta sedang melaksanakan upacara pembukaan MOS. Terlihat wajah-wajah yang masih polos dan lugu, aku tersenyum mengingat 2 tahun lalu saat aku seperti mereka sekarang. Ada sedikit kebisingan saat upacara sedang berlangsung. Ternyata teman-teman seangkatanku sedang ngerumpi.

“Eh ada yang cowok ganteng tuh!” ribut mereka ketika melihat murid kelas 7.

“Yang mana sih?” tanyaku penasaran.

“Itu tuh dia, kelas 7-5!” seru mereka sambil menunjuk ke barisan kelas 7-5.

Aku pun berjalan menuju ke barisan kelas 7-5. Aku mencari cowok ganteng itu. Dan aku menemukan sosok yang tinggi, putih dengan wajah blasteran. Ganteng bangeeeettt!

“Hai, nama lo siapa?” aku bertanya dengan wajah yang sangat ceria.

“Mario kak” jawabnya singkat.

“Oh Mario, gue Agnes. Gue yang jaga di kelas lo, penanggung jawab di 7-5.”

“Oh gitu, jangan galak-galak ya kak!”

“Okelah! Dengerin ya tuh amanatnya”

Beberapa menit kemudian, upacara selesai dilaksanakan. Semua murid baru memasuki kelasnya masing-masing. Osis juga turut sibuk memasuki kelas yang dijaganya. Aku dan Fia masuk ke kelas 7-5. Rasanya seneng banget bisa jagain kelas yang ada cowok gantengnya. Lumayan deh buat cuci mata ehehe.

“Hai, kenalin ya nama saya Agnes Anggraeni. Panggil aja kak Agnes.” aku memperkenalkan diri di depan kelas sebelum memulai kegiatan selanjutnya.

“Iya kak!” jawab mereka serempak

“Kalo nama saya, Fia Astuti. Panggilannya Fia aja” giliran Fia memperkenalkan diri.

“Oh kak Fia aja” celetuk salah satu murid yang duduk di baris belakang.

“Hahaha!” semua penghuni kelas tertawa.

“Bukan kak Fia aja...” sahut Fia.

“Tadi katanya panggilnya kak Fia aja.”

“Iya maksudnya itu panggil aja kak Fia hehe.”

“Nah gitu baru bener haha.”

Hari pertama sudah dilewati dengan perkenalan dan canda tawa karena berhasil mengerjai anak-anak kelas 7. Sudah diketahui bahwa nama lengkap cowok itu adalah Mario Saputra. Dia seringkali dikerjai oleh anggota Osis. Memang tradisi dari dulu sih, yang ganteng itu dibawa kesana-kemari. MOS pun berjalan lancar hingga akhirnya hari ketiga yang artinya hari terakhir MOS. Hari ini murid kelas 7 harus menyerahkan surat cinta yang telah dibuatnya untuk kakak Osis yang mereka sukai. Mereka juga harus menyerahkan angket.

Dan aku sempat menangis karena ada salah satu murid kelas 7 yang mengisi angket Terjutek dengan namaku. Padahal aku tidak pernah memasuki kelasnya. Dan aku tidak pernah mengerjai murid kelas 7. Itu membuat aku agak kesal. Memang sih cengeng banget tapi begitulah aku jika sedang kesal. Kesedihanku langsung hilang ketika Fia menghampiriku dan menarikku ke kelas 7-5 untuk melihat surat cinta. Ada apa ya? Sepertinya penting banget deh padahal kan cuma surat cinta, aku sudah dapat lumayan banyak.

Fia mengambil sepucuk surat untukku, aku pun membukanya. Dan ternyata surat itu dari Mario. Wah betapa senangnya hati ini! Anggota Osis yang cewek-cewek iri padaku karena aku yang mendapatkan surat dari adik kelas paling ganteng. Padahal kalau aku dibandingkan dengan Putri, sahabat satu geng-ku, dia lebih cantik. Jadi, kenapa Mario malah memberi surat cinta itu untukku? Ya, karena dia belum mengenal semua anggota Osis dan dia tidak mungkin suka padaku. Surat itu kubawa pulang ke rumah dan kusimpan di lemari buku. Surat yang lain aku biarkan begitu saja di ruang Osis, dibaca pun tidak.

Hari-hari terus berlanjut, aku bersahabat dengan Mario. Kami sering bermain kejar-kejaran di lapangan ataupun bermain bola basket saat pulang sekolah. Kita sangat terbuka, saling menceritakan masalah yang sedang kita alami. Tapi dia belum tau kalau aku suka padanya. Hanya teman-teman seangkatanku saja yang tau. Suatu hari dia sedang mengalami masalah keluarga yang sangat berat sampai dia berniat kabur tapi aku melarangnya.

"Gue pengen kabur dari rumah! Biar gue nyusul kakak gue di Singapore" kata Mario setengah berteriak.

"Ada masalah apa lagi? Jangan kaburlah, gak ada gunanya." sahutku.

"Gue disangka nyuri uang nyokap padahal adek gue yang ngambil. Adek gue selalu dibelain dan gue malah ditampar. Capek gue diginiin terus. Gue tuh anak gak dianggep!" ceritanya singkat.

"Iya gue tau kok kalo lo selalu punya masalah sama keluarga lo tapi gak perlu pake kabur. Emang lo ada uangnya?" sergahku.

"Gak ada sih tapi gue bisa kumpulin. Nanti kalo udah sampe sana kan bisa ikut kakak gue."

"Ini cuma salah paham.. Kalo lo gak ngerasa salah, ya diemin aja. Kalo lo kabur malah mereka bakal tambah ngejudge lo sebagai anak yang bandel."

"Iya sih.... Gak tau ah! Rasanya pengen bunuh diri aja!"

"Heh sembarangan aja kalo ngomong! Dosa tau!"

"Hahaha engga kok, gue gak bakal ngelakuin itu."

Sesampainya di rumah, dia mengirim sms ini padaku:
“Mungkin ini sms terakhir gue karna gue mau bunuh diri. Maaf ya kalo gue banyak salah. Mario Saputra.”

Aku pun tersendak, aku yang saat itu sedang makan siang langsung melupakan makananku dan membalas sms Mario. Aku balas “Tadi lo ngomong sama gue di sekolah, gak bakal bunuh diri tapi kenapa lo sekarang ngingkarin janji lo sendiri?” Tapi smsku tidak dibalas. Apa yang terjadi dengannya? Aku sangat khawatir! Aku hanya bisa berdoa supaya tak terjadi apa-apa.

Esok harinya, aku melihat Mario masuk sekolah. Syukurlah! Walaupun aku dengar-dengar kalau tangannya dibalut perban akibat menggores tangannya dengan kaca. Tak apalah, yang penting dia selamat.

“Katanya gak bakal bunuh diri tapi nyatanya kaya gini, bikin orang khawatir aja sih!” aku menegur dia di depan kelasnya.

“Iya iya sorry. Abisan gue udah stress banget. Gak bakal ngulangin lagi kok.” jawabnya dengan nada bersalah sambil sedikit tertawa.

Kami pun terus bersama setiap hari, hingga akhirnya sahabat-sahabatku menyarankan agar aku mengungkapkan perasaanku pada Mario. Suatu hari aku tekadkan bulat dan memberanikan diri. Saat pulang sekolah, aku mengajaknya duduk di bangku yang ada di lapangan. Dengan ditemani teman-temanku yang penasaran untuk mendengarkan pengakuanku kepada Mario. Aku merasa sangat grogi! Oke, yang penting aku utarakan perasaanku, tak perduli dia suka padaku atau tidak. Ini bukan ritual 'nembak' loh! Masa sih aku nembak dia? Walaupun emansipasi atau apalah, tetap saja aku gengsi!

“Sebenernya gue sayang sama lo udah dari dulu. Gue tau kalo lo suka sama cewek laen. Gue ngerti soalnya cinta gak harus memiliki, gue cuma mau ngungkapin apa yang ada di hati gue.” aku memulai pembicaraan itu.

Suasana tenang, tanpa ada tanggapan.

“Heh jawab dong, kasian itu dicuekin!” temanku menyeletuk.

“Gue gak percaya” jawab Mario dengan singkat.

“Loh kok gak percaya?” tanyaku.

“Gak percaya aja, masa lo bisa sayang sama gue?”

“Ya mana gue tau, emang itu yang gue rasain... Yaudah kalo gak percaya. Gue serius dan gue cuma pengen lo tau isi hati gue. Tapi please jangan jauhin gue.”

“Iyalah! Ngapain juga gue jauhin lo?”

Aku beranjak pergi, memutuskan untuk pulang. Sejak kejadian itu, Mario memang tidak menjauhiku. Aku juga tetap sayang padanya. Dan saat hari ulang tahunnya, aku memberinya sebuah kado kecil. Aku berikan kado itu di kantin.

“Makasih ya” katanya.

“Iya sama-sama. Maaf cuma bisa ngasih ini doang” jawabku.

“Gapapa kali, gue udah seneng kalo lo inget sama ulang taun gue. Eh lo mau gak jadi cewe gue?”

Astaga, aku sangat terkejut! Setelah menunggu selama 8 bulan, ternyata penantianku tidak sia-sia.

“Mau gak ya? Ya maulah hehe.”

“Jadi kita pacaran nih?”

“Menurut anda?”

“Haha makasih yaaa!” sahutnya sambil menggenggam tanganku. 

Hari itu merupakan hari yang paling indah buatku. Setiap hari kita saling mengirim sms, mengobrol di kantin, bermain basket dan lain-lain. Tapi kebahagiaan itu hanya sementara. Kedua handphone Mario dicuri, jadi sejak saat itu aku tidak pernah lagi smsan. Lalu aku pun mulai sibuk ujian. Kita jarang bertemu karena jadwal masuk yang berbeda. Andaikan bertemu pun kita tak saling menyapa. Layaknya orang yang tak pernah saling mengenal. Akhirnya kita lost contact selama sebulan.

Hari ini tepat 70 hari aku berpacaran dengan Mario. Tapi hanya sebulan saja yang komunikasinya lancar. Sisanya komunikasi tidak berjalan mulus. Aku ingin bertemu dengannya, melepas semua kerinduan yang selama ini hanya bisa kupendam. Tapi apa yang harus aku perbuat?

Bel pulang berbunyi. Aku melihat Mario yang ingin pulang. Dia sedang menyebrang jalan tapi sepertinya pikiran dia kosong. dia tidak melihat kiri dan kanan jalan.

“Mario! Awassss!” teriakku sambil berlari ke arah Mario.

Aku mendorong tubuhnya agar tidak tertabrak mobil yang sedang melaju tepat ke arahnya. Saat itu aku tidak berpikir panjang lebar demi menyelamatkan nyawanya. Lalu tiba-tiba aku tak sadarkan diri.

“Nes, kamu gapapa kan?” tanya Mario dengan muka panik.

“Lo gapapa, Nes??? Taksi taksi!” teman-temanku juga panik melihatku tertabrak

Mario menggoyangkan tubuhku yang berlumur darah. Ia menangis dan segera membawaku ke rumah sakit. Tapi tubuhku sudah tidak kuat lagi. Yang ada di pikiranku hanyalah nyawa Mario yang berhasil kuselamatkan. Dia bisa meneruskan kebahagiaannya di dunia. Mungkin dia akan menemukan perempuan yang jauh lebih baik dan cantik daripada aku.

“Nes please sadar, jangan tinggalin aku... Maaf selama ini aku nyuekin kamu, karna aku punya masalah keluarga dan aku gak pengen kamu tau tentang masalah itu. Aku sayang banget sama kamu, mungkin kamu gak tau itu. Aku emang gak bisa nunjukin rasa sayang itu. Tapi aku janji aku bakal ngerubah sikap aku, kamu harus bertahan Nes!” ucap Mario sambil menangis.

“Nes jangan ninggalin kita dong. Lo tuh baik banget! Kalo gak ada lo pasti gak seru. Gimana nasib kita?" ucap teman-temanku yang juga menangisiku.

Aku mendengar semua yang mereka bicarakan tapi semua itu samar-samar. Aku masih belum sadar tapi aku coba bangkit dari tidurku.

“Hei kalian jangan nangis dong! Maaf kalo gue harus ninggalin lo semua. Maafin gue selama ini banyak salah sama kalian...” aku tersadar dan berbicara dengan lemah.

“Lo ngomong apa sih Nes? Lo pasti kuat!” sergah teman-temanku.

“Mario, maaf ya kalo aku gak bisa jadi yang terbaik buat kamu. Aku seneng kamu bisa selamat. Aku mau liat kamu bahagia.”

“Kamu jangan ngomong gitu, kamu pasti bisa bertahan! Aku sayang sama kamu, makasih banget udah ngorbanin nyawa kamu buat nyelamatin aku..”

“Cinta itu rela berkorban. Makasih ya udah mau jadi pacar aku selama ini.”

Kalimat itu jadi kalimat terakhir yang terlontar dari mulutku. Terdengar suara tangisan Mario, teman-teman dan keluargaku.

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Bahasa Sunda

Icip-icip di Carlo de Huts

Happy Chinese New Year!